Seandainya kita meninggalkan dunia yang fana, apa yang bisa kita tinggalkan ? Akankah kita mati begitu saja dan tiada pernah membuat sesuatupun di dunia ini ? Seketika kita masih bisa menghirup udara segar, alangkah baiknya jika kita membuat karya yang bermanfaat, dapat dinikmati orang banyak dan tiada habis di telan masa

Peringatan Atau Azab ?

Tentang Ujian dan Cobaan, Rasulullah saw bersabda :

Besarnya pahala sesuai dengan besarnya ujian dan cobaan. Sesungguhnya Allah 'Azza wajalla bila menyenangi suatu kaum Allah menguji mereka. Barangsiapa bersabar maka baginya manfaat kesabarannya dan barangsiapa murka maka baginya murka Allah. (HR. Tirmidzi)

Tiada seorang muslim tertusuk duri atau yang lebih dari itu, kecuali Allah mencatat baginya kebaikan dan menghapus darinya dosa. (HR. Bukhari)

Sa'ad bin Abi Waqqash berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah Saw, "Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berat ujian dan cobaannya?" Nabi Saw menjawab, "Para nabi kemudian yang meniru (menyerupai) mereka dan yang meniru (menyerupai) mereka. Seseorang diuji menurut kadar agamanya. Kalau agamnya tipis (lemah) dia diuji sesuai dengan itu (ringan) dan bila imannya kokoh dia diuji sesuai itu (keras). Seorang diuji terus-menerus sehingga dia berjalan di muka bumi bersih dari dosa-dosa. (HR. Bukhari)

Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan baginya maka dia diuji (dicoba dengan suatu musibah). (HR. Bukhari)

Seorang hamba memiliki suatu derajat di surga. Ketika dia tidak dapat mencapainya dengan amal-amal kebaikannya maka Allah menguji dan mencobanya agar dia mencapai derajat itu. (HR. Ath-Thabrani)

Apabila Allah menyenangi hamba maka dia diuji agar Allah mendengar permohonannya (kerendahan dirinya). (HR. Al-Baihaqi)

Apabila Aku menguji hambaKu dengan membutakan kedua matanya dan dia bersabar maka Aku ganti kedua matanya dengan surga. (HR. Ahmad)

Tiada seorang mukmin ditimpa rasa sakit, kelelahan (kepayahan), diserang penyakit atau kesedihan (kesusahan) sampai pun duri yang menusuk (tubuhnya) kecuali dengan itu Allah menghapus dosa-dosanya. (HR. Bukhari)

Seorang mukmin meskipun dia masuk ke dalam lobang biawak, Allah akan menentukan baginya orang yang mengganggunya. (HR. Al Bazzaar)

Tidak semestinya seorang muslim menghina dirinya. Para sahabat bertanya, "Bagaimana menghina dirinya itu, ya Rasulullah?" Nabi Saw menjawab, "Melibatkan diri dalam ujian dan cobaan yang dia tak tahan menderitanya." (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Bukanlah dari (golongan) kami orang yang menampar-nampar pipinya dan merobek-robek bajunya apalagi berdoa dengan doa-doa jahiliyah. (HR. Bukhari)

Allah menguji hambaNya dengan menimpakan musibah sebagaimana seorang menguji kemurnian emas dengan api (pembakaran). Ada yang ke luar emas murni. Itulah yang dilindungi Allah dari keragu-raguan. Ada juga yang kurang dari itu (mutunya) dan itulah yang selalu ragu. Ada yang ke luar seperti emas hitam dan itu yang memang ditimpa fitnah (musibah). (HR. Ath-Thabrani)

Salah seorang dari mereka lebih senang mengalami ujian dan cobaan daripada seorang dari kamu (senang) menerima pemberian. (HR. Abu Ya'la)

Sesungguhnya Allah Azza Wajalla menguji hambanya dalam rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Kalau dia ridho dengan bagian yang diterimanya maka Allah akan memberkahinya dan meluaskan pemberianNya. Kalau dia tidak ridho dengan pemberianNya maka Allah tidak akan memberinya berkah. (HR. Ahmad)

Barangsiapa ditimpa musibah dalam hartanya atau pada dirinya lalu dirahasiakannya dan tidak dikeluhkannya kepada siapapun maka menjadi hak atas Allah untuk mengampuninya. (HR. Ath-Thabrani)

Bencana yang paling payah ialah bila kamu membutuhkan apa yang ada di tangan orang lain dan kamu ditolak (pemberiannya). (HR. Ad-Dailami)

Barangsiapa diuji lalu bersabar, diberi lalu bersyukur, dizalimi lalu memaafkan dan menzalimi lalu beristighfar maka bagi mereka keselamatan dan mereka tergolong orang-orang yang memperoleh hidayah. (HR. Al-Baihaqi)

Sumber: 1100 Hadits Terpilih (Sinar Ajaran Muhammad) - Dr. Muhammad Faiz Almath - Gema Insani Press

baca selengkapnya..
Posted by El Ghuroba, Tuesday, March 27, 2007 12:24 | 0 comments |

Mengenal Rasulullah secara Fisik


Rasulullah saw tidak jangkung dan tidak pula terlalu pendek.

Warna kulitnya putih bersih dan tidak terlalu coklat dan tidak terlalu putih (pucat). Maksud dari putih bersih adalah tidak ada noda kuning atau merah atau juga noda warna-warna lain. Sebagian ada yang mengatakan kulit Nabi kemerah-merahan.

Keringat yang keluar dari wajah beliau bagaikan butir-butir mutiara, wanginya melebihi wangi minyak misik.

Rambut beliau sangat indah, tidak keriting dan tidak pula lurus, yaitu ikal. Rambut beliau sampai menyentuh pundak, tetapi pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa rambut beliau sampai daun telinga. Terkadang beliau menguncir empat dan terkadang dibiarkan tergerai di telinganya. Uban yang ada di kepala dan jenggot tidak lebih dan kurang dari tujuh belas helai.

Beliau memiliki paras yang indah (ganteng) dan bercahaya. Tidak ada yang mampu menggambarkan wajahnya kecuali membandingkan dengan bulan purnama. Kulit wajahnya sangat halus, sehingga ketika marah dan senang sangat terlihat sekali. Keningnya lebar. Lekuk kedua alisnya sangat indah, di antara dua alisnya berkilat bagaikan perak, lebih-lebih ketika tertawa.

Memiliki bulu mata yang lentik. Hidungnya tidak mancung dan tidak pesek. Giginya tersusun rapi, ketika tertawa terlihat bercahaya dari giginya yang putih.

Memiliki bibir yang paling indah dan menawan. Pipinya lembut. Kedua rahangnya tidak terlalu panjang dan tidak pula tembem.

Memiliki jenggot yang lebat. Karena beliau sangat suka memelihara jenggot dan menggunting kumis. Lehernya sangat indah, tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Setiap kali terkena sinar matahari dan hembusan angin, lehernya berkilau seperti perak bercampur emas.

Memiliki dada yang bidang, tegak bagaikan cermin dan putih bagaikan bulan. Di antara dada dan pusarnya tidak ada rambut. Punggungnya lebar, di antara kedua pundaknya terdapat stempel kenabian, yaitu di sebelah pundaknya yang kanan.

Telapak tangan beliau sangat lembut melebihi lembutnya sutra dan wangi seperti parfum. Setiap orang yang bersalaman dengannya akan merasakan wanginya sepanjang hari. Apabila tangannya diletakkan di atas kepala anak kecil maka kepala anak itu berbeda dengan kepala anak-anak lainnya karena aroma wangi yang keluar dari kepalanya.

Ketika berjalan, seperti seorang sedang turun dari bukit, tegap dan tenang. Tanpa ada kesombongan yang terlihat dari jalannya.

baca selengkapnya..
Posted by El Ghuroba, Monday, March 26, 2007 09:38 | 0 comments |

3 Karakteristik Nafsu

3 Karakteristik Nafsu
Seri Kata Berhikmah harian

Para penempuh jalan menuju Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan beragam cara dan metode bersepakat bahwa nafsu adalah faktor yang menghalangi hati untuk sampai kepada Allah. Mereka juga bersepakat, tidak ada seorang pun yang dapat masuk dan sampai kepada Allah kecuali jika sudah membunuh, menyelisihi, dan memenangkan pertarungan atasnya. Begitulah, manusia itu ada dua kelompok. Pertama, manusia yang dikalahkan, dikuasai dan dihancurkan oleh hawa nafsunya. Ia benar-benar tunduk di bawah perintahnya. Kedua, manusia yang berhasil memenangkan pertarungan melawannya. Ia mampu mengekangnya, menundukannya, dan nafsu pun tunduk di bawah perintahnya. Sebagian orang arif berkata, "Akhir dari perjalanan para thalibin (orang-orang yang mencari) adalah ketika mereka telah berhasil menundukkan nafsunya. Siapa pun yang demikian keadaannya telah berhasil dan sukses. Sebaliknya siapa saja yang dikalahkan oleh nafsunya telah gagal dan hancur.

Allah subhanahu wa taala berfirman,
"Adapun orang yang durhaka, lagi mengutamakan kehidupan dunia. Maka neraka Jahimlah tempat tinggalnya. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran Rabbnya, lagi menahan diri dari hawa nafsunya. Maka surgalah tempat tinggalnya. (QS An-Nazi'at: 37-41)

Nafsu itu menyeru kepada sikap durhaka dan mendahulukan dunia. Sedangkan Allah subhanahu wa talaa menyeru hamba-Nya agar takut kepada-Nya dan menahan diri dari hawa nafsunya. Jadi, hati manusia itu ada di antara dua penyeru. Kadangkala ia condong kepada yang satu, dan kadang pula condong kepada yang lainnya. Di sinilah ujian dan cobaan.

Di dalam al-Qur'an Allah subhanahu wa ta'ala menyebut nafsu dengan tiga sifat: muthmainnah, lawwaamah dan ammaarah bis suu'. Selanjutnya manusia berbeda pendapat, apakah nafsu itu satu dan yang tiga adalah sifatnya? Ataukah setiap manusia itu memiliki tiga nafsu.

Pendapat pertama adalah pendapat fuqaha' dan para mufassir. Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat mayoritas ahli tashawwuf. Tetapi pada hakekatnya tidak ada pertentangan antara dua pendapat ini. Sebab memang nafsu itu satu jika ditinjau dari sisi dzatnya, dan tiga jika ditinjau dari sisi sifatnya.

NAFSU MUTHMAINNAH

Apabila nafsu tenang dan tentram dengan dzikrullah, tunduk kepada-Nya, rindu akan perjumpaan dengan-Nya, serta jinak kala dekat dengan-Nya, maka kepadanya dikatakan – ketika menemui ajalnya -, "Wahai nafsu muthmainnah! Pulanglah kepada Rabbmu dengan penuh ridla dan diridlai! (QS Al-Fajr: 27-28)

Ibnu Abbas menafsirkan muthmainnah dengan mushaddiqah, membenarkan kebenaran.

Qatadah berkata, Yaitu seorang mukmin yang nafsunya tenang dengan apa yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Tenang di pintu ma'rifah terhadap asma' dan shifat-Nya dengan berdasarkan kabar dari-Nya (al-Qur'an) dan dari Rasul-Nya (as-Sunnah). Tenang atas kabar yang datang tentang apa yang terjadi setelah kematian, alam barzakh, dan kejadian di hari kiamat, seakan-akan melihatnya dengan mata telanjang. Tentram atas takdir Allah, menerima dan meridhainya, tidak benci dan berkeluh kesah, tidak pula terguncang keimanannya, tidak berputus asa atas sesuatu yang lepas darinya, pun tidak berbangga atas
apa yang dimilikinya. Sebab, semua musibah telah ditakdirkan oleh-Nya jauh sebelum musibah itu sampai kepadanya, bahkan sebelum ia diciptakan. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

"Tidak ada musibah yang datang kecuali dengan izin dari Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya". (QS At-Taghabun: 11)

Tidak sedikit dari para salaf yang menafsirkannya sebagai seseorang yang ditimpa musibah, ia mengerti bahwa musibah itu datang dari Allah, sehingga ia ridha dan pasrah.

Adapun yang dimaksud dengan thuma'ninah ihsan adalah ketenangan seseorang dalam melaksanakan perintah dengan ikhlas dan setia. Tidak mendahuluinya dengan satu keinginan atau pun hawa nafsu. Juga bukan karena ia tidak dihinggapi suatu syubhat yang mengaburkan kabar-Nya, atau syahwat yang bertentangan dengan perintah-Nya. Bahkan jika suatu ketika datang, ia akan menganggapnya sebagai gangguan yang baginya lebih baik terjun dari langit ke bumi daripada mengecapnya, walau sesaat. Inilah yang dimaksud oleh nabi sebagai sharimul iman (iman yang jelas). Juga, ia tenang dari kegelisahan untuk bermaksiat dan
gejolaknya menuju taubat dan kenikmatannya.

Bila diri tenang telah berpindah dari keraguan kepada keyakinan, dari kebodohan kepada ilmu, dari kealpaan kepada dzikir, dari khianat kepada taubat, dari riya' kepada ikhlas, dari kedustaan kepada kejujuran, dari kelemahan kepada semangat yang membaja, dari sifat 'ujub kepada ketundukan, dan dari kesesatan kepada ketawadhuan, ketika itulah nafsu telah tentram, muthmainnah.

Pondasi dari itu semua adalah yaqzhah, kesadaran. Kesadaranlah yang menyibak kealpaan dan kelalaian diri. Ia pulalah yang menampakkan baginya taman surga. Ia bersenandung.

Tahukah kau, duhai nafsu?
Celaka bila… engkau bergembira
Bantu aku dalam pekatnya malam
Moga cita nikmat hidup… dalam menjulang
Sesudah hancur segala

Di bawah cahaya kesadaran, diri akan melihat semua yang diciptakan untuknya. Juga, apa yang akan ditemuinya di alam barzakh, sampai memasuki negeri abadi. Ia juga melihat betapa cepat dunia berlalu, betapa sedikit dunia memberikan kenikmatannya kepada anak-anaknya dan orang-orang yang merindukannya, dan betapa dunia membunuh mereka dengan belati-belatinya. Maka bangkitlah ia seraya berseru:

"Duhai, betapa meruginya aku atas keteledoranku di sisi Allah" (QS Az-Zumar: 56)

Selanjutnya, ia akan menggunakan sisa umurnya untuk melengkapi kekurangan, menghidupkan yang telah ia matikan, membenahi puing-puing masa silam, dan memanfaatkan setiap kesempatan – yang jika terlewat, terlewat pulalah seluruh kebaikan.

Masih di bawah cahaya kesadaran dan cahaya nikmat Rabbnya kepadanya, ia melihat betapa ia tak mampu lagi menghitungnya, betapa ia tak mampu memenuhi haknya, betapa ia penuh dengan aib, juga amal-amalnya yang rusak, kejahatan-kejahatannya, dosa-dosanya, serta kelalaiannya terhadap tugas dan kewajiban yang tidak sedikit.

Akhirnya luluh sudah nafsunya, khusyu' sudah anggota badannya, dan ia pun berjalan menuju Allah subhanahu wa ta'ala dengan kepala tertunduk oleh banyaknya nikmat yang ia saksikan serta kejahatan, aib dan dosa dirinya.

Kini, ia tahu betapa berharga waktu yang dimilikinya. Juga bahwa ia adalah modal utama kejayaannya. Maka bakhillah ia terhadapnya jika bukan untuk upaya mendekatkan diri kepada Rabbnya. Sungguh, membuang-buang waktu adalah kerugian, sedangkan menjaganya adalah kemenangan dan keberuntungan.

Inilah buah dari yaqzhah dan implikasinya, yang merupakan langkah awal dari nafsu muthmainnah dalam perjalanannya menuju Allah dan kampung akhirat.

NAFSU LAWWAMAH

Ia adalah nafsu yang selalu berubah keadaan. Ia sering berbalik, berubah warna. Kadang ia ingat, kadang alpa. Kadang ia sadar, kadang berpaling. Kadang ia cinta, kadang benci, kadang ia gembira, kadang sedih. Kadang ia ridla, kadang murka. Kadang ia taat, dan kadang ia khianat.

Sebagian orang mendefinisikannya sebagai nafsu seorang mukmin. Al-Hasan al-Bashri berujar, "Seorang mukmin itu selalu mencela (lawwamah artinya banyak mencela, pent) dirinya. Ia terus berkata: Apa yang kau inginkan dari semua ini? Mengapa kau lakukan ini? Sungguh ini lebih baik daripada yang ini! Atau yang semisalnya."

Ada juga yang mengartikannya dengan celaan pada hari kiamat. Pada hari itu setiap pribadi akan mencela dirinya sendiri. Jika ia pendurhaka,atas kedurhakaannya, dan jika ia seorang yang taat, atas keteledoran dan kekurangannya. Ibnul Qoyyim berkata, "Semua pengertian di atas benar."

Lawwamah itu ada dua. Lawwamah yang tercela dan lawwamah yang sebaliknya.

Yang pertama adalah nafsu yang dungu dan menganiaya diri sendiri. Ia dicela oleh Allah dan para malaikat. Sedangkan yang kedua adalah nafsu yang selalu mencela pemiliknya karena kekurangannya dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta'ala – padahal ia sudah berusaha sekuatnya – Nafsu ini tidak dicela. Bahkan nafsu yang paling utama adalah nafsu yang mencela diri atas kekurangtaatannya kepada Allah, dan ia siap menerima celaan dalam menggapai ridla-Nya. Demikianlah ia terbebas dari celaan Allah. Berbeda dengan orang yang puas atas amal yang dikerjakannya, dan ia tidak dicela oleh nafsunya, lalu tidak siap menerima celaan dalam menggapai ridla-Nya. Dialah yang dicela oleh Allah.

NAFSU AMMARAH BIS SUU'

Inilah nafsu yang tercela. Ia selalu mengajak kepada keburukan, dan itu memang tabiatnya. Tidak ada seorang pun yang dapat selamat dari kejahatannya selain orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah subhanahu wa ta'ala. Allah mengisahkan tentang istri menteri al-Aziz,

"Dan aku tidak berlepas tangan dari nafsuku. Sesungguhnya nafsu itu selalu menyeru kepada kejahatan. Kecuali yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (QS Yusuf: 53)

Dan firman-Nya,

"Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, niscaya tidak ada seorangpun dari kalian yang bersih-suci,
selamat-lamanya." (QS An-Nur: 21)

Rasulullah shalalallahu alaihi wa salam mengajarkan kepada para sahabat khutbah hajah, "Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampunan kepada-Nya. Kita juga berlindung kepada Allah dari kejahatan nafsu kita dan keburukan amal-amal kita."

Kejahatan itu tersimpan di dalam nafsu. Ia akan mengajak kepada amal-amal yang buruk. Apabila Allah membiarkan seorang hamba bersama nafsunya, ia akan binasa di tengah-tengah kejahatan nafsu dan amal buruknya. Apabila Allah memberikan taufiq dan memberikan pertolongan kepadanya, niscaya selamatlah ia dari semuanya. Oleh karenanya kita memohon kepada Allah yang maha Agung untuk melindungi kita dari kejahatan nafsu dan amal buruk kita.

Ringkas kata, nafsu itu satu saja. Ia bisa menjadi ammarah, lawwamah atau muthmainnah, yang merupakan puncak kebaikan dan kesempurnaannya.

Diambil dari buku Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, dan Imam Ghazali, ditahqiq oleh Dr. Ahmad Farid, Penerbit Pustaka Arafah Solo, halaman 67-73

baca selengkapnya..
Posted by El Ghuroba, Thursday, March 22, 2007 11:53 | 0 comments |

Referensi



  1. Daarut Tauhiid Jakarta
  2. Blog Wirausaha
  3. Googling Bisnis Tanpa Modal



baca selengkapnya..
Posted by El Ghuroba, Friday, March 16, 2007 16:04 | 0 comments |

Ciri-ciri Orang yang Ikhlas

Seri Mutiara Al Hikam
Oleh Aa Gym


Ciri-ciri Orang yang Ikhlas
Syaikh Ahmad Ibnu Athaillah berkata,

“Amal perbuatan itu sebagai kerangka yang tegak, sedang ruh (jiwa)nya, ialah terdapatnya rahasia ikhlas (ketulusan) dalam amal perbuatan”

Bab tentang ikhlas adalah bab yang mutlak dan paling penting untuk dipahami dan diamalkan, karena amal yang akan diterima Allah SWT hanyalah amal yang disertai
dengan niat ikhlas. “tidaklah mereka diperintah kecuali agar berbuat ikhlas kepada Allah dalam menjalankan agama”.

Oleh karenanya, sehebat apapun suatu amal bila tidak ikhlas, tidak ada apa-apanya dihadapan Allah SWT, sedang amal yang sederhana saja akan menjadi luar biasa dihadapan Allah SWT bila disertai dengan ikhlas. Tidaklah heran seandainya shalat yang kita kerjakan belum terasa khusyu, atau hati selalu resah dan gelisah dan hidup tidak merasa nyaman dan bahagia, karena kunci dari itu semua belum kita dapatkan, yaitu sebuah keikhlasan.

Ciri-ciri dari orang yang memiliki keikhlasan diantaranya :

1. Hidupnya jarang sekali merasa kecewa,
Orang yang ikhlas dia tidak akan pernah berubah sikapnya seandainya disaat dia berbuat sesuatu kebaikan ada yang memujinya, atau tidak ada yang memuji/menilainya bahkan dicacipun hatinya tetap tenang, karena ia yakin bahwa amalnya bukanlah untuk mendapatkan penilaian sesama yang selalu berubah tetapi dia bulatkan seutuhnya hanya ingin mendapatkan penilaian yang sempurna dari Allah SWT.

2.Tidak tergantung / berharap pada makhluk
Sayyidina ’Ali pun pernah berkata, orang yang ikhlas itu jangankan untuk mendapatkan pujian, diberikan ucapan terima kasih pun dia sama sekali tidak akan pernah mengharapkannya, karena setiap kita beramal hakikatnya kita itu sedang berinteraksi dengan Allah, oleh karenanya harapan yang ada akan senantiasa tertuju kepada keridhaan Allah semata.

3.Tidak pernah membedakan antara amal besar dan amal kecil
Diriwayatkan bahwa Imam Ghazali pernah bermimpi, dan dalam mimpinya beliau mendapatkan kabar bahwa amalan yang besar yang pernah beliau lakukan diantaranya adalah disaat beliau melihat ada seekor lalat yang masuk kedalam tempat tintanya, lalu beliau angkat lalat tersebut dengan hati-hati lalu dibersihkannya dan sampai akhirnya lalat itupun bisa kembali terbang dengan sehat. Maka sekecil apapun sebuah amal apabila kita kerjakan dengan sempurna dan benar-benar tiada harapan yang muncul pada selain Allah, maka akan menjadi amal yang sangat besar dihadapan Allah SWT.

4. Banyak Amal Kebaikan Yang Rahasia
Mungkin ketika kita mengaji dilingkungan orang banyak maka kita akan mengaji dengan enaknya, lama dan penuh khidmat, ketika kita shalat berjamaah apalagi sebagai imam kita akan berusaha khusyu dan lama, tapi apakah hal tersebut akan kita lakukan dengan kadar yang sama disaat kita beramal sendirian ? apabila amal kita tetap sama bahkan cenderung lebih baik, lebih lama, lebih enak dan lebih khusyuk maka itu bisa diharapkan sebagai amalan yang ikhlas. Namun bila yang terjadi sebaliknya, ada kemungkinan amal kita belumlah ikhlas.

5. Tidak membedakan antara bendera, golongan, ras, atau organisasi
Fitrah manusia adalah ingin mendapatkan pengakuan dan penilaian dari keberadaannya dan segala aktivitasnya, namun pengakuan dan penilaian makhluk, baik perorangan, organisasi atau instansi tempat kerja itu relatif dan akan senantiasa berubah, banyak orang yang pernah dianggap sebagai pahlawan namun seiring waktu berjalan adakalanya berubah menjadi sosok penjahat yang patut diwaspadai. Maka tiada penilaian dan pengakuan yang paling baik dan yang harus senantiasa kita usahakan adalah penilaian dan pengakuan dari Allah SWT.

Begitu besar pengaruh orang yang ikhlas itu, sehingga dengan kekuatan niat ikhlasnya mampu menembus ruang dan waktu. Seperti halnya apapun yang dilakukan, diucapkan, dan diisyaratkan Rasulullah, mampu mempengaruhi kita semua walau beliau telah wafat ribuan tahun yang lalu namun kita senantiasa patuh dan taat terhadap apa yang beliau sampaikan. Bahkan orang yang ikhlas bisa membuat iblis (syaitan) tidak bisa banyak berbuat dalam usahanya untuk menggoda orang ikhlas tersebut.

Ingatlah, apapun masalah kita kita janganlah hati kita sampai pada masalah itu, cukuplah hanya ikhtiar dan pikiran saja yang sampai pada masalah tersebut, tapi hati hanya tertambat pada Allah SWt yang Maha Mengetahui akan masalah yang kita hadapi tersebut. Semoga Allah SWT membimbing kita pada jalan-Nya sehingga kita bisa menjadi hamba-Nya yang ikhlas. Amiin.

baca selengkapnya..
Posted by El Ghuroba, 10:21 | 0 comments |